Sabtu, 03 April 2010

Hijrah di bumi Gorontalo

Tulisan ini hanyalah sekelumit perjalanan hijrahku ke bumi Gorontalo, dalam rangka menjalankan tugas sebagai CPNS BPS(Badan Pusat Statistik) sekaligus perjalanan pertamaku meniti kehidupan baru di atas kaki sendiri dan melanjutkan episode-episode yang harus aku perankan sebagai manusia biasa yang harus masih banyak belajar.

Kenapa harus Gorontalo?
Pada awalnya aku senang dengan keputusan awal BPS bahwa mahasiswa STIS angkatan ke-12(AIS 47) akan ditempatkan tanpa sebuah pilihan. Kenapa aku lebih suka tanpa pilihan? Aku mengambil dari sebuah hadist yang kira-kira maksudnya seperti ini:
“Barang siapa berambisi untuk mendapatkan sesuatu (bisa jabatan atau posisi), maka segala masalah dan tanggung jawab dari apa yang menjadi pilihan bersebut akan Allah bebankan seluruhnya dipundakmu (Allah tidak akan campur tangan sedikitpun), akan tetapi jikalau kamu tidak berambisi terhadap sesuatu itu dan menjadikan itu sebagai amanah Allah atas dirimu, maka segala masalah yang menyangkut amanah itu, Allah akan ikut campur didalamnya”.
Selain itu aku juga ingin belajar menerima apapun bentuk pemberian Allah, dengan ridho tanpa syarat apapun. Karena sesungguhnya semua pemberian Allah itu baik. Walau terkadang kebanyakan manusia terburu-buru salah menilainya kemudian salah menyikapinya.
Akan tetapi tiba-tiba muncul kebijakan pimpinan agar mahasiswa diberi kebebasan untuk menentukan pilihan sesuai kuota yang sudah tersedia dan semua kuota harus diisi. Tentunya pertimbangan penempatan akan ditentukan berdasarkan nilai IPK, pertimbangan putra daerah dan pertimbangan lainnya. Dengan memohon petunjuk Allah SWT jatuhlah pilihan pertamaku di Gorontalo dengan pertimbangan awal bahwa Gorontalo dikenal sebagai daerah dengan mayoritas muslim, wilayah yang cukup maju dan lingkungannya yang nyaman. Harapanku cuman satu, hanya menginginkan yang terbaik menurut Allah. Karena yang terbaik menurut Allah pasti yang terbaik menurut kita, yang mendatangkan kebaikan untuk agama, kehidupan, keselamatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dan Alhamdulilah sampai detik ini aku nyaman di Gorontalo. Hal-hal yang menjadi pertimbangan awalpun ternyata juga tidak salah.

Good bye Jakarta..
18 februari 2010, 12.00 WIB starting via taxi menuju Bandara Soekarno Hatta, tepatnya pintu 1B. Dimulai dengan menunjukkan tiket di pintu masuk penumpang, pengecekan barang-barang kemudian menimbang barang bagasi (kelebihan barang bagasi untuk Sriwijawa Air 22 ribu/kilo, sedangkan Pesawat Garuda bisa mencapai 70ribu/kilo). Kemudian kita membayar boarding pass untuk menuju tempat ruang tunggu. Dan ternyata tidak hanya kereta, pesawat pun terlambat dua jam sudah biasa.
Detik-detik menunggu pesawat mengingatkanku akan masa-masa magradika, saat-saat belajar menembus UAS, kompre dan skripsi, semua itu masih tergambar jelas, masih terasa betul saat-saat pertama kali datang untuk belajar di Jakarta, namun terasa begitu cepat semuanya berlalu.
Sambil kupandangi Jakarta dari sebuah jendela, berangsur-angsur semakin jauh dan mengecil, membiru dan tampaklah sebuah hamparan laut yang luas, dan sampailah di Makasar, karena kita harus transit untuk melanjutkan perjalanan ke Gorontalo, Take off dan landing di saat cuaca buruk ternyata lebih menegangkan dari pada naik korah-korah, kicir-kicir atau tornado.
Sesampainya di Gorontalo kami langsung dijemput(19.00 WITA), dengan berkendaraan kijang tahun **an (mas pras menyebutnya dengan odong-odong), dengan bermodalkan lampu depan saja itupun mati sebelah, ditambah dengan goncangan yang kuat serasa pacuan kuda. Satu jam kemudian, DUARR!!!, ban belakang pecah, hampir dan hampir menabrak mobil avanza yang masih kinclong. Entah mungkin lain ceritanya seandainya kijang kami “berciuman” dengan itu avanza.
Tak lama kemudian datang mobil jemputan kedua, kemudian kami pun melanjutkan perjalanan. Sesampai dirumah dinas, suasana sangat meriah tapi sedikit ada yang kurang karena bapak kepala BPS Provinsi keburu pulang karena terlalu lama menunggu kami(maaf y pak?).

Wolulu habari??
Wolulu habari?? Pyu Phiyu hu.. (Pa kabar? Bae’2 ja). Nah lu jauh banget kan ama bahasa indonesia so makanya kitorang roming banget klo ada orang dialog pake bahasa asli gorontalo.
19 februari 2010 pagi kami silaturahim ke BPS Provinsi Gorontalo mengurus dokumen kelengkapan dan berkenalan dengan karyawan-karyawan disana. Capek belum hilang, sorenya kami langsung mempersiapkan sosialisasi SP2010 menuju kecamatan terjauh di Kabupaten Gorontalo Utara. Lima jam perjalanan mengantarkan kami di kecamatan Tolinggula, dengan melewati lukisan ilahi keelekokan pesisir pantai tak bernama, begitu indah, bersih (bersih dari sampah dan manusia, ^_^).
Acara demi acara sosialisasi SP dimulai, aku pun ikut memeriahkan permainan bola dangdut di sebuah lapangan yang boleh dibilang banyak “ranjau”, maklum karena biasa dipakai untuk menggembala sapi. Makin malam makin meriah, persembahan dari kepala desapun justru makin menghidupkan malam-malam puncak acara.
Rutinitas di BPS Provinsi selama dua minggu sangat sederhana namun berjuta kesan, bangun pagi makan menu wajib nasi kuning dengan harga berkisar 2-3ribuan, Jam istirahat kami sering diajak berkuliner ke mulai dari coto makasar ampe berbagai macam jenis ikan bakar. Sedang untuk makan malamnya terkadang bakar ikan sendiri terkadang juga berkuliner di luar.

Ada apa di Gorontalo?
Mall ada tapi kecil, yang gedhe katanya sih 2012 sudah jadi, super market dan tempat belanja sudah ada dan juga lumayan murah dan lengkap. Bioskop belum ada. Tempat rekreasi kebanyakan berupa pantai.
Yang menarik dari bangunan di Gorontalo itu jarang bahkan nyaris tidak ada rumah beratap genting. Survey yang telah saya lakukan dari 30 sampel dengan metode SRS, (halah…) Kenapa tidak ada rumah beratap genting karena:
- Kata orang-orang tua dulu “masih hidup kok sudah beratap tanah?.
- Kondisi geografis Gorontalo yang rawan akan gempa.
- Emang karena tanah di Gorontalo tidak cocok untuk dibuat genting.
- Lainnya menjawab abstain wahaha..
Disini amat jarang pekuburan umum, kebanyakan dikubur disamping rumah, ya kaya taman gitu jadinya. Muslim disini mayoritas, banyak masjid, anjing juga banyak berkeliaran tapi jinak dan tidak mengganggu, katanya sih untuk menjaga hasil panen.
Makanan mayoritas seafood, hamper samalah dengan makanan jawa, mungkin bedanya kalau di Gorontalo harus ada menu wajib tambahan yaitu dabu-dabu (sambal khas gorontalo, pedasnya minta ampun dah..) Sayur kebanyakan kangkung dan pki-poki(terong), yang dimasak batang kangkungnya lho, daun kangkung gak laku disini.
Perkampungan jawa di Gorontalo juga banyak, kebanyakan mereka disini sukses jadi pebisnis dan pedagang. Mungkin banyak hal yang belum ku ketahui di Gorontalo. Insya Allah jikalau ada sesuatu yang menarik atau hal yang baru bagiku, tulisan ini akan berlanjut.

0 Comment: